Jumat, 15 April 2011

MEMBANGUN SEBUAH KARAKTER & WATAK BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

2komentar
(Oleh: Rengganis, S.Pd.SH.M.Pd.)

Di era sekarang, banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada orang tua, baik guru maupun sesama. Hal ini merupakan jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum minuman keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan sebagainya.

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa "watak" dengan dengan “sifat” adalah sangat tipis perbedaannya. "watak" bisa terjadi karena faktor bawaan yang sulit untuk diubah, tapi kalau “sifat” bisa diubah melalui sebuah proses. Mengubah sifat-sifat seseorang tidak semudah itu. Semua harus dilakukan melalui sebuah proses. Proses itulah dapat dilakukan secara bertahap dan tidak bisa sekaligus langsung berubah. Dan itulah yang dinamakan karakter.

Jadi membangun sebuah karakter itu tidaklah mudah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas adanya perkembangan atau laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang mengglobal, bahkan sudah tidak mengenal batas-batas negara hingga mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan manusia.

Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte.

Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat.

Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai "siapa anda dalam kegelapan". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.

Kini Bagainmana?

Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab secara parsial.

Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.

Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya.

Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik.

Di rumah misalnya, PR yang harusnya dikerjakan anak justru dikerjakan oleh orang tua atau kakaknya, bukan mendampingi dan menuntun anak menyelesaikan PR tersebut. Di sekolah, banyak anak yang ikut ujian nasional dibantu oleh gurunya atau pihak lainnya karena mengejar target kelulusan.

Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya.

Sistem pendidikan di Indonesia dinilai gagal membentuk karakter siswa menjadi orang baik yang ditandai dengan banyaknya kasus korupsi, manipulasi, kebohongan, berbagai konflik dan terjadinya kekerasan.

"Ini bukti bahwa institusi pendidikan kita belum dapat mewujudkan tujuan pendidikan yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab," kata pendiri Indonesia Heritage Foundation, Dr Ratna Megawangi, di Medan, Selasa.

Menurut dia, salah satu penyebab utama kegagalan tersebut karena sistem pendidikan di Indonesia belum mempunyai kurikulum pendidikan karakter, tetapi yang ada hanya mata pelajaran tentang pengetahuan karakter (moral) yang tertuang didalam pelajaran agama, kewarganegaraan dan Pancasila.

Apalagi proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan penghafalan.Para siswa hanya diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur dengan kemampuan anak menjawab soal ujian terutama dengan pilihan berganda.

"Karena orientasinya hanya semata-mata memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak pada perubahan perilaku siswa tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral dan perilaku," katanya.

Ia mengatakan, salah satu solusi untuk membuat pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan melakukan pendidikan karakter, karena pendidikan moral bisanya hanya menyentuh aspek pengetahuan, belum sampai pada aspek prilaku.

Sedangkan pendidikan karakter membentuk perilaku siswa menjadi lebih bermoral, karena seseorang dapat disebut sebagai orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.

"Sedangkan pendidikan moral misalnya dalam pendidikan pancasila, tidak menandai watak perilaku sebagai keberhasilan proses pembelajaran, tetapi cukup sampai pada sejauh mana anak didik mengetahui yaitu dengan pendekatan hapalan dan sedikit analisis," katanya.

Pendidikan di Indonesia hanya melahirkan ahli "mafia" atau matematika, fisika, dan kimia, sehingga lulusan pendidikan di Indonesia tidak memiliki karakter."Faktanya, pengangguran terdidik di Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta, sedangkan pengangguran tak terdidik hanya 700 orang," kata konsultan kewirausahaan, Imam Supriyono di Surabaya, Senin.Menurut pemimpin "SNF Consulting" itu, fakta yang ada membuktikan pendidikan di Indonesia tidak melahirkan karakter, tapi melahirkan "mafia" yang sangat formalistik."Padahal, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 225 juta dengan penduduk miskin cukup besar itu, membutuhkan pendidikan karakter," ucapnya.

Penulis sejumlah buku pendidikan dan kewirausahaan itu mengatakan, karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri."Kalau pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika, fisika, dan kimia maka pendidikan di Indonesia tidak akan melahirkan karakter," ujarnya menegaskan.

Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Kota Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?

Bagaimana pemerintah menjadi fasilitator pelayanan publik tidak dimiliki oleh negara. Pemerintah serius bisa menggusur tanpa bisa menunjukkan alternatif berjualan bagi masyarakat misalnya. Belum lagi status klaim tanah yang berakibat pada penggusuran. Ancaman penggusuran menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi semua negara. Kemudian masyarakat seringkali menempuh cara kekerasan sehingga tidak punya karakter sebagai warga negara yang baik mengedepankan dialog. Bagaimana mengatasinya ini? Perlu grand design tentang pendidikan karakter bangsa.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat.

Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial dan melemahnya mentalitas positif.

Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial budaya dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun.

Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sindiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN).

Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak kemnadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.

Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat. Kenapa Pendidikan?

Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000:194).

Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappire dalam Suyanto dan Hisyam, 2000:186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.

Ciri karakter SDM

SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.

Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dalam kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan rohani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.

Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi.

Pendidikan karakter dapat mengubah bangsa terjajah menjadi bangsa maju. Terbukti, Korea sebagai negara terjajah selama 30 tahun oleh Jepang, mampu bangkit menjadi negara pesaing Jepang dengan memberikan pendidikan karakter kepada bangsanya.

Penulis memaparkan, pendidikan karakter diajarkan sejak usia SD kelas 1 dan 2 dengan materi meliputi proper life (hidup secara baik), wise life (hidup secara bijak), dan pleasant life (hidup secara menyenangkan).

Sedangkan pendidikan karakter sejak kelas 3 sampai kelas 10 diberikan dalam bentuk moral education (pendidikan moral), kelas 11 mendapat materi civil ethics (etika kewarganegaraan), dan kelas 12 mendapatkan materi ethics and thoughts (etika dan filsafat).

Selain Korea, kata Penulis, Amerika sebagai kiblat dunia di segala bidang, justru sangat memerhatikan pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter akan membawa anak didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, yang akhirnya pengalaman nilai secara nyata dari gnosis ke praktis.

“Untuk mencapai tataran praktis, ada peristiwa batin yang hebat dengan munculnya tekat untuk mengamalkan yang disebut conatio. Sedangkan langkahnya sampai ke arah situ disebut konatif yang oleh Phenix disebut sebagai voluntary personal commitment value,” terangnya.

Berdasarkan pendekatan antropologis, kata Penulis, pendidikan semacam itu di Indonesia identik dengan pendidikan yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal (indegenous value). ”Pendidikan semacam ini sangat penting diberikan kembali kepada anak didik. Terutama ketika era globalisasi tidak lagi membedakan satu bangsa dengan bangsa yang lainnya.”

Kalau kita simak dan kita analisis, bahwa kondisi Indonesia sekarang ini benar-benar sudah kehilangan karakter. Nah, Oleh karena itu, mari kita secara bersama-sama bagaimana upaya untuk membangun kembali sebuah karakter bangsa untuk menjadi bangsa yang lebih maju, bermartabat, bermoral menuju ke arah pendidikan.

Bagaimana mengatasinya?

Secara institusional, Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.

Hal ini penting dilakukan agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa.

Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga cerdas hati, dan cerdas raga.

Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan "karakter" secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.

Berikutnya, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7) Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas

Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.

Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu.

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih

luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.

"Semoga bermanfaat bagi para pembaca"

Kamis, 20 Maret 2008

MAKALAH : PERENCANAAN PENDIDIKAN

9komentar
PERENCANAAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada haketnya Perencanaan merupakan suatu rangkaian proses kegiatan menyiapkan keputusan mengenai apa yang diharapkan terjadi sperti (peristiwa, keadaan, suasana), dan sebagainya. Perencanaan bukanlah masalah kira-kira, manipulasi atau teoritis tanpa fakta atau data yang kongkrit. Dan persiapan perencanaan harus dinilai. Bangsa lain yang terkenal perencanaannya adalah bangsa Amerika Serikat. Perencanaan sangat menentukan keberhasilan dari suatu program sehingga bangsa Amerika dan bangsa Jepang akan berlama-lama dalam membahas perencanaan daripada aplikasinya.

Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama boleh dikatakan telah berhasil meletakkan landasan yang kuat bagi pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Adapun tujuan Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II), adalah mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri, sejahtera lahir batin dalam rangka mewujudkan masyarakat adil makmur dalm Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD-1945. Rumusan yang luas tersebut dapat kita sebut tujuan normatif atau visi normative dari pembangunan nasional. Dalam rangka pencapaian tujuan normative PJP II tersebut di rumuskan pula sebagai sasaran umum ialah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri.

Hasil yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I), merupakan pula perwujudan dari suatu rencana pendidikan dan pelatihan selama PJP I sesuai dengan kondisi bangsa dan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Masyarakat semakin berkembang, semakin cerdas, dan semakin luas pula horison pilihannya, sebagai hasil sumber daya manusia Indonesia. Menghadapi Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II) banyak hal yang perlu di perhitungkan untuk lebih mengarahkan tujuan Pembangunan Jangka Panjang Kedua, demikian pula sasaran umum yang akan dicapainya harus lebih rinci agar perkembangannya tidak melebar atau melenceng tanpa arah yang jelas. Dalam kerangka ini perlu dirumuskan suatu tujuan dan sasaran yang strategisnyang saya sebut sebagai visi strategis dan rencana strategis pembangunan pendidikan dan pelatihan menapak abad 21. Dalam alur pikiran inilah penulis menyajikan suatu konsep atau pemikiran mengenai perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif dan efisien.

Sebagai unsur di dalam pertama di dalam program pengembangan SDM Indonesia mencapai tujuan Pembangunan Jangka Panjang II, pendidikan dan pelatihan haruslah berpijak pada dua prinsip pokok, yaitu sifatnya yang komprehensif, dan dinamik. Sifat yang komprehensif disebabkan karena seluruh program pembangunan nasional yang pada hakekatnya dilaksanakan oleh manusia Indonesia yang mampu untuk melaksanakannya. Manusia Indonesia tersebut adalah manusia hasil binaan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan tuntutan pasar atau tuntutan pembangunan nasional. Untuk menjadi bangsa yang mandiri, pada dasarnya tidak ada satupun sector kehidupan bangsa atau sektor pembangunan nasional yang tidak dijamah oleh Sumber Daya Manusia Indonesia. Apabila Sumber Daya Manusia Indonesia tidak dipersiapkan, maka sector-sektor tersebut akan diisi oleh tenaga-tenaga asing sesuai dengan dinamisme kehidupan dunia dewasa ini yaitu dunia terbuka. Dunia yang terbuka memungkinkan persaingan antar manusia dan antar bangsa. Hanya bangsa dan manusia yang terampil, bermutu, akan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa yang lain dalam era globalisasi. Perencanaan pendidikan dan pelatihan yang komprehensif berarti bahwa bahwa perencanaan tersebut haruslah sejalan dan seiring dengan strategi pembangunan serta prioritas nasional.

Sesuai dengan arah dan sasaran Pembangunan Jangka Panjang II (PJP II), maka perencanaan pendidikan dan pelatihan nasional haruslah dinamis sesuai dengan dinamika yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang sdemakin tinggi mutu kehidupannya dan tingkat pemikiran rakyatnya. Dinamika masyarakat yang semakin meningkat menuntut partisipasi masyarakat luas, untuk memberdayakan masyarakat yang dikenal sebagai rass root planning, mengikutsertakan dinamika masyarakat berarti pula proses perencanaan harus rentan pada perubahan yang hidup di dalam kehidupan yang nyata dan bukan merupakan rekayasa dari atas atau pemerintah pusat. Meskipun tidak seluruhnya rekayasa pemerintah bersifat negative, tetapi dinamika menuntut suatu adonan yang serasi antara tuntutan pemerintah pusat dengan keikutsertaan masyarakat banyak. Kebutuhan pasar, kebutuhan rakyat banyak mencerminkan meningkatkan kehidupan demokrasi juga merupakan hasil suatu proses perencanaan pendidikan dan pelatihan yang semakin dekat dengan kebutuhan masyarakat.

Perencanaan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan masyarakat masa depan adalah perencanaan yang didorong oleh mekanisme pasar. Yang berarti tujuan pembangunan nasional akan lebih dekat dan mendapat support dari masyarakat secara utuh. Dan selanjutnya dunia masa depan, dunia abad 21 sebagai abad informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi (IPTEK), telah dan akan mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia yang sedang menapak kea rah kearah masyarakat industri. Transformasi masyarakat masa depan menuntut suatu fisi pendidikan dan pelatihan yang jelas, yang mengakomodasikan dinamika transformasi social-ekonomi masyarakat yang akan terjadi. Era teknologi komunikasi akan lebih mendekatkan manusia satu dengan yang lain, sehingga dinamika tersebut harus ditampung untuk lebih mensukseskan tercapainya tujuan pembangunan nasional. Visi strategis tersebut harus dapat mengarahkan proses perencanaan pendidikan dan pelatihan nasional, sehingga dengan demikian program-program pembangunan nasional yang diprioritaskan pada bidang ekonomi dalam PJP II, akan di support oleh adanya Sumber Daya Manusia Indonesia yang cerdas dan terampil sesuai dengan kebutuhan masyarakat global.

Transformasi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia masa depan dalam era globalaisasi abad 21 menuntut suatu proses perencanaan pendidikan dan pelatihan berdasarkan paradikma-paradigma baru bukan saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, tetapi juga untuk mewujudkan Shared values masyarakat dunia.

B. Definisi Perencanaan Pendidikan

Dari berbagai pendapat atau definisi yang dikemukakan oleh para pakar manajemen, antara lain :

a. Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch

Perencanaan Pendidikan, adalah suatu proses yang yang mempersiapkan seperangkat alternative keputusan bagi kegiatan masa depan yang diarahkan kepadanpencapaian tujuan dengan usaha yang optimal dan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di bidang ekonomi, sosial budaya serta menyeluruh suatu Negara.

b. Beeby, C.E.

Perencanaan Pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan prioritas, dan biaya pendidikan yang mempertimbangkan kenyataan kegiatan yang ada dalam bidang ekonomi, social, dan politik untuk mengembangkan potensi system pendidikan nasioanal memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh system tersebut.

c. Menurut Guruge (1972)

Perencanaan Pendidikan adalah proses mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan pendidikan.

d. Menurut Albert Waterson (Don Adam 1975)

Perencanaan Pendidikan adala investasi pendidikan yang dapat dijalankan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang di dasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial.

  1. Menurut Coombs (1982)

Perencanaan pendidikan suatu penerapan yang rasional dianalisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat.

  1. Menurut Y. Dror (1975)

Perencanaan Pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan seperangkat keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi dan social secara menyeluruh dari suatu Negara.

Jadi, definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa pendapat tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat asas) internal yang berhubungan secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada batas waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan mendahului dan didahului oleh kegiatan lain.

Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam hal ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :

1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam bidang pendidikan.

2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan pendidikan. Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan.

Dalam penentuan kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang kekuasaan sebagai sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian, misalnya mengenai system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system manajemennya, bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas yang terkandung dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot u ntuk jaminan dapat terlaksananya perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen rencana pendidikan.

Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara cepat, tapi memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau bidang pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional.

C. Tujuan, Fungsi dan Proses Perencanaan

1. Tujuan Perencanaan

Pada dasarnya tujuan perencanaan adalah sebagai pedoman untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai suatu alat ukur di dalam membandingkan antara hasil yang dicapai dengan harapan. Dilihat dari pengambilan keputusan tujuan perencanaan adalah :

1. Penyajian rancangan keputusan-keputusan atasan untuk disetujui pejabat tingkat nasional yang berwenang.

2. Menyediakan pola kegiatan-kegiatan secara matang bagi berbagai bidang/satuan kerja yang bertanggung jawab untuk melakukan kebijaksanaan.

2. Fungsi Perencanaan

Fungsi perencanaan adalah sebagai pedoman pelaksanaan dan pengendalian, sebagai alat bagi pengembangan quality assurance, menghindari pemborosan sumber daya, menghindari pemborosan sumber daya, dan sebagai upaya untuk memenuhi accountability kelembagaan. Jadi yang terpenting di dalam menyusun suatu rencana, adalah berhubungan dengan masa depan, seperangkat kegiatan, proses yang sistematis, dan hasil serta tujuan tertentu.

3. Proses Perencanaan
Perencanaan merupakan siklus tertentu dan dan melalui siklus tersebut suatu perencanaan bias dievaluasi sejak awal persiapan sampai pelaksanaan dan penyelesaian perencanaan. Dan secara umum, ada beberapa langkah penting yang perlu diperhatikan di dalam perencanaan yang baik, yaitu:

1. Perencanaan yang efektif dimulai dengan tujuan secara lengkap dan jelas.

2. Adanya rumusan kebijaksanaan, yaitu memperhatikan dan menyesuaikan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan factor-faktor lingkungan apabila tujuan itu tercapai.

3. Analisis dan penetapan cara dan sarana untuk mencapai tujuan dalam kerangka kebijaksanaan yang telah dirumuskan.

4. Penunjukan orang - orang yang akan menerima tanggung jawab pelaksanaan (pimpinan) termasuk juga orang yang akan mengadakan pengawasan.

5. Penentuan system pengendalian yang memungkinkan pengukuran dan pembandingan apa yang harus dicapai, dengan apa ya ng telah tercapai, berdasarkan criteria yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, beerdasarkan unsure-unsur dan langkah-langkah dalam perencanaan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa proses perencanaan merupakan suatu proses yang diakui dan perlu dijalani secara sistematik dan berurutan karena keteraturan itu merupakan proses rasional sebagai salah satu property perencanaan pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan yang Efektif dan Efisien

Perencanaan pada hakekatnya merupakan suatu proses yang mengarahkan sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan. Perencanaan pembangunan nasional merupakan suatu proses yang mengarahkan keseluruhan usaha yang melibatkan kemampuan serta pemanfaatan sumber-sumber daya dan dana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Pendidikan dan pelatihan sebagai proses sumber daya manusia yang akan melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan nasional haruslah sejalan dengan proses untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Perencanaan pendidikan dan pelatihan nasional harus diarahkan kepada pencapaian tujuan dan visi normatif pembangunan nasional sebagaimana kekuatan internal serta kecenderungan-kecenderungan global yang mempengaruhi arah pembangunan nasional dalam PJP II, maka kita dapat merumuskan visi strategis mengenai pembangunan nasional kita. Dalam rangka untuk mewujudkan visi strategis pembangunan nasional, maka perencanaan pendidikan dan pelatihan yang sejalan dengan itu perlu dirumuskan. Perencanaan pendidikan dan pelatihan tersebut tidak lain yaitu suatu proses perencanaan yang efektif dan efisien yang mengandung 3 unsur pokok, yaitu : a) system, b) materi pembelajaran dan pelatihan, c) proses pembelajaran dan pelatihan.

Dengan proses perencanaan pendidikan dan pelatihan nasional yang demikian bukanlah semata-mata pencapaian target kuantitatif tetapi juga bahkan terlebih berkenan dengan pembenahan system agar supaya lebih efektif dan efisien, meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pelatihan, serta materi yang disampaikan di dalam proses. Tersebut bukan hanya mempunyai kualitas yang tinggi tetapi juga relevan dengan tuntutan pembangunan nasional.

B. Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan yang Efektif

Rencana yang efektif adalah rencana yang yang menunjang pencapaian tujuan PJP II, khususnya tujuan strategis PJP II yang telah dijadwalkan pada periode Repelita. Seperti yang dirumuskan, tujuan strategis dari pembangunan PJP II yaitu : menyiapkan masyarakat industri maju. Suatu masyarakat industri maju memiliki ciri-ciri yang khusus yaitu masyarakat yang mengenal disiplin. Tanpa disiplin tidak mungkin industri maju yang menggunakan unsur-unsur posisi tinggi berjalan tanpa disiplin. Disiplin dalam pekerjaan, di dalam produksi dan di dalam kehidupan. Tidak ada suatu negara industri maju tanpa kedisiplinan warganya. Oleh karena itu, perencanaan pendidikan dan pelatihan haruslah diarahkan kepada tumbuhnya suatu masyarakat yang berdisiplin.

Rencana yang telah disepakati haruslah dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan, menyampingkan tujuan-tujuan tambahan dan memfokuskan kepada rencana yang telah ditentukan. Bukan berarti bahwa rencana yang telah disepakati tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penyesuaian suatu rencana hanya dapat terjadi apabila kondisi meminta untuk perbaikan-perbaikan selama pelaksanaan. Keterbatasan dana, ketidakmampuan pelaksana, kurang koordinasi di lapangan dapat menyebabkan penyesuaian pelaksanaan.

Perencanaan pendidikan dan pelatihan diarahkan pada pengembangan dan penguasaan IPTEK serta penerapannya. Berikutnya keterampilan yang diprogramkan adalah keterampilan yang dibutuhkan di dalam pasar kerja oleh dunia industri atau oleh kesempatan-kesenmpatan yang muncul karena kemajuan ilmu dan teknologi kemudian perencanaan yang disajikan merupakan suatu rencana yang melahirkan inisiatif.

Demikianlah proses perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif harus dapat menumbuhkan suatu system pendidikan dan perencanaan yang mengakomodasikan lahirnya kemampuan-kemampuan yang diperlukan oleh suatu masyarakat industri. Sistemnya haruslah efektif, artinya tidak ada duplikasi serta program tanpa arah. Seluruh sistem diberdayakan agar secara cepat dan tepat menunjang pencapaian tujuan PJP II. Hal ini berarti perencanaan Ppendidikan dan pelatihan haruslah komprehensif, sebab sumber daya manusia yang aka n dibutuhkan oleh semua sector pembangunan.

Selama PJP II tujuan ini belum sepenuhnya dapat dilaksanakan sehingga terjadi berbagai pemborosan dan bermuara kepada angka pengangguran yang semakin besar. Pengangguran menandakan bukan hanya oleh factor-faktor ekonomi, melainkan juga sebagai variable ketidakefektifan proses perencanaan pendidikan dan pelatihan dalam membangun suatu system yang efektif.

Suatu proses perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif juga berkenaan dengan proses pembelajaran. Era informasi dengan cyber learning akan mengubah seluruh proses belajar baik di dalam system pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Oleh karena itu, cyber learning harus direncanakan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam rencana pendidikan dan pelatihan masa depan.

C. Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan yang Efisien

Efisien artinya penggunaan sumber-sumber secara tepat guna dalam rangka pencapaian suatu tujuan. Dalam hubungan ini, proses perencanaan yang efisien adalah proses perencanaan yang mempunyai karakteristik, antara lain : efisiensi berimplikasi tanpa duplikasi berarti intensifikasi. Tetapi apabila duplikasi tanpa kerjasama, maka hal itu dapat dikatakan pemborosan.

Dengan demikian proses perencanaan pendidikan dan pelatihan akan dangkal sifatnya atau akan melenceng dari tujuan nasional karena tidak memperhitungkan kepentingan sector-sektor lainnya. Oleh sebab itu, kerjasama intern, instansi antar lembaga, antar departemen di dalam proses perencanaan pendidikan dan pelatihan merupakan syarat mutlak. Proses kerjasama ini sudah dapat diperlancar dengan adanya teknologi komunikasi yang canggih. Maka dari itu, dapat dirumuskan secara lebih efisien serta lebih tepat dan cepat program-program nasional yang mempunyai dimensi antar sektoral.

D. Keseimbangan antara Pendidikan dan Program Pelatihan

Kita telah merencanakan program pendidikan terpisah dari program pelatihan. Namun di dalam era informasi di mana pendidikan merupakan pendidikan seumur hidup, maka porsi umur yang diperuntukkan bagi program pendidikan sekolah ialah singkat dibandingkan dengan porsi umur yang diberikan kepada program pelatihan yang berjalan seumur hidup. Apabila karakteristik pekerjaan masa depan yang dinamis akan memberikan relevansi yang tinggi terhadap program pelatihan. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan dan pelatihan masa depan yang efisien harus lebih memperhatikan kepada pengembangan program pelatihan nasional.

E. Tenaga-tenaga Perencana yang professional

Perencanaan pendidikan dan pelatihan masa depan yang efektif dan efisien tentunya meminta tenaga-tenaga yang professional tersebut, yaitu para perencana harus merupakan suatu tim multi-disipliner. Dan mereka bukan hanya ahli-ahli dalam bidang pendidikan dan pelatihan melainkan juga dari disiplin-disiplin dari luar pendidikan, seperti teknik, ekonomi, antropologi, filsafat, dan bidang-bidang lainnya yang relevan. Tentunya yang ideal adalah adalah ahli-ahli pendidikan yang menguasai disiplin-disiplin lainnya.

Dalam transformasi IKIP menjadi Universitas, maka tenaga-tenaga perencana yang professional akan lebih terbuka. Para akademisi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan akan dapat didik sebagai tenaga-tenaga perencana pendidikan dan pelatihan yang lebih mantap dan professional. Tim perencana yang multi-disipliner, yang menghayati masalah-masalah pendidikan, akan dapat menghayati dan membangun suatu system pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan tujuan strategis dan misi strategis pembangunan serta dapat mengembangkan materi yang akan disampaikan di dalam proses pembelajaran dan pelatihan, serta menguasai tehnik proses pembelajaran itu sendiri.

Proses perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif dan efisien secara mutlak harus ditopang oleh peneliti (riset). Riset yang dibutuhkan adalah dalam dua bidang, yaitu bidang kebijakan dan dalam bidang intern pendidikan. Pelaksanaan riset kebijakan pendidikan dapat dilaksanakan oleh badan pemerintah tetapi juga oleh lembaga-lembaga swasta yang independent agar supaya dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan dari berbagai arah serta tidak berpihak.

Demikian juga pelaksanaan riset mengenai masalah-masalah pendidikan an sich perlu dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah, misalnya di lingkungan universitas dan lembaga-lembaga riset masyarakat mengenai mengenai pendidikan. Dewasa ini dirasakan suatu kelemahan di dalam pengembangan pendidikan dan pelatihan nasional karena ketiadaan data riset mengenai masalah-masalah pendidikan san pelatihan yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sendiri yang sedang berkembang me nuju masyarakat industri.

Dari berbagai konsep pendidikan dan pelatihan berasal dari pinjaman atau limpahan pemikiran-pemikiran barat mengenai perkembangan yang sebenarnya dari Indonesia sampai dewasa di dalam lingkungan kebudayaan Indonesia.

F. Kurikulum Nasional yang Ramping

Perencanaan yang efisien dalam sector pendidikan dan pelatihan juga diarahkan kepada terwujudnya suatu kurikulum yang ramping. Kita mengetahui bahwa dewasa ini, kurikulum sudah sangat berat dengan pengetahuan yang kurang relevan dengan kehidupan nyata. Era reformasi bukan berarti menghafal dan penguasai semua informasi dan data yang ada, tetapi bagaimana mengelola informasi yang ada agar supaya bermanfaat bagi kehidupan.

Dengan demikian perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efisien menuntut lebih banyak pemanfaatan pendidikan umum sebagaimana diproyeksikan oleh Negara-negara Uni Eropa dewasa ini. Oleh karena itu, apabila dewasa ini kita mengenal Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal di mana seolah-olah yang penting adalah Kurikulum, maka dalam menjalani abad 21 justru yang penting adalah Kurikulum Lokal yang merupakan kurikulum Kurikulum Inti. Sedangkan Kurikulum Nasional merupakan lapisan plasma dari kurikulum itu sendiri. Tentunya Kurikulum Lokal yang merupakan inti memerlukan persiapan yang berat dan matang di daerah-daerah.

BAB III

PENUTUP

Dari berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Perencanaan pendidikan dan pelatihan dalam PJP II merupakan proses untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan visi strategis untuk menanpung dinamika masyarakat dan kekuatan serta tantangan global dalam era informasi abad 21.

2. Perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif mendorong mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju yang memungkinkan pengembangan kemampuan otak, penguasaan dan pengembangan serta penerapan IPTEK, menguasai yang relevan mengembangkan jiwa wiraswasta.

3. Perencanaan pendidikan dan pelatihan dalam PJP merupakan proses untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan visi strategis menghadapi pasar bebas serta kemajuan IPTEK dalam rangka mewujudkan masyarakat.

4. Perencanaan Pendidikan yang efektif dan efisien meminta suatu keseimbangan antara program pendidikan dan program pelatihan. Program-program pelatihan akan semakin ditonjolkan relevansinya. Sedangkan program pendidikan yang bersifat umum dengan dibebani berbagai keterampilan dasar yang diperlukan dalam kehidupan nyata.

5. Perencanaan pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan masyarakat masa depan adalah perencanaan yang didorong oleh mekanisme pasar.

6. perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efektif dan efisien secara mutlak harus ditopang oleh peneliti (riset). Riset yang dibutuhkan adalah dalam dua bidang, yaitu bidang kebijakan dan dalam bidang intern pendidikan.

7. Perencanaan pendidikan dan pelatihan yang efisien menghindari duplikasi yang tidak perlu. Oleh karena itu diperlukan networking antar

8. Lembaga, antar departemen, mengoptimalkan peran serta masyarakat, khususnya masyarakat industri, serta kurikulum yang ramping. Kurikululum local dijadikan sebagai kurikulum inti, Dan Kurikulum Nasional dijadikan sebagai Kurikulum Plasma.

DAFTAR PUSTAKA

Suryadi, Ace. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pengembangan: Isu.Teori dan Aplikasi. Pusat Informatika Balitbang Dikbud. Jakarta.1997

Tilaar, H.A.R., Peta Permasalahan Pendidikan Dewa Ini, Perlunya Visi dan Rencana Strategi Pendidikan dan pelatihan Nasional berorientasi Masa Depan, Seminar Ilmiah ISKA, November 1997.

Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 1997.

Haddad, Wadi D., The Dynamich of Education Policymaking. The World Bank, Washington, D.C.

Tilaar, H.A.R., Pengembangan SDM Indonesia Unggul Menghadapi masyarakat Kompetitif Era Globalisasi, Pidato Ilmiah pada Acara Wisuda Tinggi Manajemen Bandung, 26 Agustus 1997.

Tilaar, H.A.R., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, 1997.

Tilaar, H.A.R., In Search of New Paradigms in Educational Management and Leadership based on Indigenous Culture: The Indonesian Case, Keynote speech, First Asean/ASEAN Symposium on Educational Manajemen and Leadership, Genting Highlands, Kuala Lumpur, 27-29 Agust, 1997.

Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Indonesia Tera, Jakarta 1998.

Bontang, 21 Maret 2008

Penyusun


Renggani, S.Pd.SH.

Minggu, 02 Desember 2007

PENDIDIKAN BERBASIS MASYARAKAT MENUJU OTONOMI DAERAH KALTIM

1 comment

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan pilot project yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan belajar anak melalui suara, pilihan dan tindakan kolektif masyarakat. Proyek percontohan ini akan dilaksanakan melalui mekanisme Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan pada masyarakat pedesaan dan untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan setempat. PPK difokuskan pada kecamatan yang dinilai termiskin di Indonesia, dan membiayai proyek pembangunan pada tingkat desa melalui sebuah sistem pilihan terbuka, yang memungkinkan berbagai kelompok masyarakat untuk mengusulkan kegiatan pendidikan. Sejauh ini, PPK belum memiliki sistem yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan maupun perspektif masyarakat terhadap gagasan inovatif berkaitan dengan pendidikan.

Kelompok sasaran utama dari proyek percontohan Pendidikan Berbasis Masyarakat ini adalah kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan bagi para anak murid. Selain peningkatan fasilitas infrastruktur fisik, proyek percontohan ini akan melibatkan masyarakat agar dapat mempertimbangkan berbagai kegiatan non-fisik, seperti peningkatan kapasitas mengajar, proses dan suasana pembelajaran yang menyenangkan, dan perawatan kesehatan dan gizi bagi para anak. Diharapkan juga bahwa hubungan antara sekolah dan masyarakat akan semakin baik.
Bagaimanapun juga, ada beberapa hal yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat namun dengan dampak yang sangat terbatas kecuali dengan keterlibatan dinas pendidikan kabupaten. Misalnya, dinas pendidikan kabupaten dapat mendukung masyarakat dengan informasi dari luar, seperti Undang-Undang Pendidikan No. 20/2003 dan UU tentang Perlindungan Anak No. 23/2002. Yang terakhir misalnya akan melindungi anak dari kekerasan di sekolah maupun di rumah. Berkurangnya kekerasan akan sekaligus meningkatkan kapasitas anak-anak untuk belajar . Pendidikan guru adalah contoh yang lain. Sangat mahal apabila masing-masing sekolah harus melaksanakan pelatihan guru. Namun jauh lebih praktis dan ekonomis apabila kelompok-kelompok masyarakat yang memilih untuk meningkatkan kapasitas gurunya, melakukannya secara bersama di tingkat kabupaten.

Otonomi Daerah merupakan kewenangan Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingaan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Thoha, 1998). Dengan otonomi daerah, maka wewenang pusat dilimpahkan kepada daerah untuk menangani urusannya masing-masing. Di Indonesia otonomi daerah tidak dilaksanakan secara frontal untuk segala urusan, tetapi sebagian urusan daerah tidak lagi diintervensi oleh pemerintah pusat. Melihat kondisi ini, maka diharapkan dapat mendorong kemajuan daerah berdasarkan potensi dan sumber daya yang dimiliki.

Penataan otonomi daerah yang seluas-luasnya akan mempengaruhi penataan institusi dan berdampak pada manajemen berbagai sumber daya yang ada di daerah. Apabila otonomi daerah dikonsentrasikan di wilayah kota atau kabupaten, maka propinsi tidak lagi sebagai pemerintah otonom, tetapi bersifat koordinatif. Wewenang penyelenggaraan segala urusan berada pada tingkat kota atau kabupaten. Hal ini akan membawa dampak pada penataan sistem pendidikan, termasuk organisasi penyelenggara, kurikulum, penataan SDM, pendanaan, sistem manajemen, sarana prasarana, dan pengembangan pendidikan daerah.

B. Tujuan Pendidikan Bermasis Masyarakat

Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM) bertujuan untuk membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal dan meningkatkan peranan masyarakat, meningkatkan rasa kepemilikan dan dukungan masyarakat terhadap sekolah, dan mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan, serta membantu mengatasi putus sekolah terutama dari SD.

C. Permasalahan

Besarnya penduduk Indonesia yang menempuh pendidikan luar sekolah.

Rendahnya Anggaran dari Pemerintah

Pemerintah belum melihat Pendidikan secara utuh

Prioritas pemerintah pada pendidikan sekolah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (PBM)

Konsep PBM adalah: dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U., 2001). Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek PBM tersebut adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian tenaga pendidikan (pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada masyarakat. Menurut Sagala, S., 2004 akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education).

Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah: a) pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya , b) malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran, c) pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.

Sedangkan menurut Surya, M., 2002 salah satu problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang rendah.

Indikator yang menunjukkkan rendahnya mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka, seperti: a) alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, kemudian terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu; b) Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni; c) sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.

Kisah-kisah ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial budaya yang ada. Pendidikan berjalan di luar alam sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan) melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Implikasinya adalah terputus mata rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan penyelesaiannya.

Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya. Hal seperti ini tidak terjadi pada tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.

Sementara itu kita juga tengah menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan disepakatinya kawasan perdagangan bebas. Sejak 1 Januari 2003 secara Internasional dimulai AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area). Akibatnya terjadi perubahan pada berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, demografi, Sumber Daya Alam, dan geografi yang akan berpengaruh pada skala global, regional dan nasional. Secara global dapat dilihat dengan adanya terorisme, runtuhnya tembok Berlin, narkoba. Secara regional dapat dilihat dengan maraknya narkoba, terorisme, TKI, sipida ligitan. Secara Nasional dapat kita lihat dengan banyaknya pengangguran, kemiskinan, narkoba, pariwisata, dan demokrasi.

Dengan demikian pendidikan harus secara akif berperan mengatasi dampak negatif dari era globalisasi dan mempersiapkan Sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mencanangkan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi / KBK). Dengan kurikulum ini materi pelajaran ditentukan oleh sekolah berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pusat hanya menetapkan materi pokok (esensial). Target guru tidak untuk menyampaikan semua materi pelajaran tetapi memberikan pengalaman belajar untuk mencapai kompetensi dan berfokus pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif (Sudjatmiko dan Nurlaili, L., 2004).

Oleh karena itu dengan melaksanakan KBK secara optimal diharapkan output pendidikan dapat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai akuntabilitas pendidikan kepada masyarakat sesuai dengan konsep PBM. Sejalan dengan dicanangkannya KBK, pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan standar pendidikan nasional (Irawan, A., 2004).

MBS merupakan salah satu pendidikan berbasis masyarakat yang dilaksanakan dalam pendidikan formal. Pendidikan kita selama ini memandang sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga (Mukhlishah, 2002).
Memulai kembali menata pendidikan dengan mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagau basis pendidikan di sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.

Karena itu diperlukan partisipasi semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional, dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Menurut Darwin rahardjo dalam Surya, M., 2002 masyarakat modern mempunyai tiga sektor yang saling berinteraksi yaitu sektor pemerintah, dunia usaha dan sektor sukarela (LSM). Ketiga sektor masyarakat tersebut harus mempunyai posisi tawar menawar dan kemandirian sehingga menghasilkan kerjasama yang sinergik dan simbiotik dalam mencapai tujuan bersama. Hal tersebut dapat dijadikan kerangka berfikir dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam satu gugus sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.

B. Kendala Mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:

1) Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down).

2) Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.

3) Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.

4) Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.

5) Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.

6) Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.

7) Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.

8) Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.

9) Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.

10) Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

Sistem yang masih top down yang kurang memberikan ruang dan peluang perencanaan dari bawah, sehingga terjadi penyeragaman program serta penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program mengakibatkan pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.
Kurangnya kepercayaan pemerintah kepada masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.

Tugas melayani masyarakat yang belum dilaksanakan dan kecenderungan berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi. Kebutuhan masyarakat yang beragam dan merasa belum terlayani dengan baik menyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar. Pola pikir masyarakat yang masih mementingkan kebutuhan kebendaan atau badani dan kurang memperhatikan pendidikan menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan dan mereka lebih disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah.

Masyarakat masih memiliki budaya statis , merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka. Tokoh panutan yang berperilaku seperti birokrat mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.

Kurangnya LSM mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
Adanya keterbatasan anggaran, sarana prasarana dan tenaga kependidikan serta prosedur yang berbelit-belit dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program pendidikan berbasis masyarakat berkurang.

Bertolak dari permasalahan-permasalahan ini, institusi sekolah bersama masyarakat perlu menyusun suatu model kebijakan sampai batas mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam manajemen pendidikan dan bagaimana masyarakat itu dapat berpartisipasi memenuhi kebutuhan sekolah. Salah satu solusinya, aspirasi masyarakat dan keikutsertaan masyarakat disalurkan melalui suatu forum yang disebut dewan sekolah atau komite sekolah yang fungsi tugasnya dituangkan dalam peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Komite sekolah merupakan pengembangan fungsi dari BP3 yang tidak hanya berfungsi untuk memberikan dukungan pembiayaan tetapi juga berfungsi mengoreksi dan memberikan masukan atau ide bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Komite sekolah sebagai forum keikut sertaan masyarakat ditingkat sekolah sedangkan dewan pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota.
Sekolah dan masyarakat saling membutuhkan sehingga kekuatan dan keterbatasan masing-masing dapat saling melengkapi menjadi sebuah kekuatan. Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.
Secara umum orang tua menginginkan pendidikan yang lengkap untuk anak-anak mereka. Mereka menginginkan generasi mudanya dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi warga negara yang berbudaya dan berpendidikan serta memiliki kemampuan untuk berperan secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske, 1993 bahwa orang tua adalah pelanggan utama sekolah yang mempunyai tujuan pokok agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang bermutu.

Selain itu untuk mengatasi kendala penerapan berbasis masyarakat perlu dilakukan perbahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh, perubahan pola perencanaan dan penggunaan anggaran dari pusat dengan pola DIP ke pola hibah (block grant), perubahan sikap birokrat dalam berperilaku untuk memberdayakan masyarakat, pemberian kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri pendidikan yang mereka perlukan dan pemerintah cukup membuat standar mutu, LSM serta organisasi kemasyarakatan serta swasta yang mau bergerak dibidang pendidikan perlu lebih diberdayakan.

C. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat -(PBM III)

a. Bagaimana peran pemerintah dalam menggalakkan Pendidikan Berbasis Masyarakat?
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang dana.
Sebagai Pelayan Masyarakat, dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.

Sebagai Fasilitator, pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
Sebagai Pendamping, pemerintah harus melepaskan perannya dari penentu segalanya dalam pengembangan program belajar menjadi pendamping masyarakat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.

Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat ( Ing ngarsa sung tulodo).
Sebagai Mitra, apabila kita berangkat sari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat.
Sebagai Penyandang Dana, pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermatapencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat yang disalurkan berdasarkan usulan dari lembaga pengelola PKBM.

b. Bagaimana peran Komite sekolah dalam pendidikan berbasis masyarakat ?
Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itu gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah, para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada komite tersebut. Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen, maka dengan konsep manajemen berbasis sekolah pertanggung jawaban itu kepada Komite Sekolah. Pemerintah dalam hal ini hanya memberikan legalitas saja.

Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah.
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini.

Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan paradigma perkembangan pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah gabungan peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite Sekolah yang baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan pemerintahan. Kalau Komite Sekolah JPS keanggotaan ya terdiri dari 50% anggota masyarakat dan 50% lagi birokrat, maka keanggotaan Komite Sekolah yang baru ini adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.

Tentu saja Kepala Sekolah harus membantu terbentuknya komite ini. Selanjutnya pembentukan komite dilaporkan kepada instansi/satuan kerja setempat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pendidikan. Namun demikian komite ini bersifat independen yang berkedudukan sebagai mitra sekolah dan berfungsi sebagai lembaga kontrol bagi sekolah. Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan penilaian untuk pengembangan pelaksanaan pendidikan dan pelaksanaan manajemen sekolah. Komite sekolah nisa juga memberikan masukan bagi pembahasan atas usulan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Jika Komite Sekolah ini bisa dijalankan, berarti proses dan pelaksanaan pendidikan di sekolah akan berjalan sesuai prinsip demokrasi. Ini berarti lingkungan sekolah menjadi laboratorium dan contoh mikro dari realisasi masyarakat madani. Sebab, dengan demikian masyarakat sekolah berarti menjalankan fungsi legislatif-eksekutif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Jelas sekali bahwa memfungsikan MBS dan Komite Sekolah merupakan upaya demokratisasi pendidikan yang menjadikan pendidikan berakar pada masyarakat yang tentunya mempunyai sustainability yang handal.

-----------------------------------

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. PBM sudah ada dan tumbuh di Indonesia dalam berbagai bentuk.

2. Peran pemerintah harus bergeser sebagai pelayan, pendamping, pendorong, dan penggugah dalam mengembangkan PBM.

3. PBM harus bertumpu pada masyarakat.

4. PBM harus didukung oleh kemitrasejajaran

5. Penganekaragaman program pembelajaran perlu dikembangkan.

6. Pola pengganggaran yang salah dapat mematikan kreativitas masyarakat.

7. PKBM ditumbuhkan, dikelola, dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.

B. Saran

1. Perubahan sikap yang melihat pendidikan secara utuh.

2. Perubahan pola perencanaan dan anggaran pendidikan.

3. Perubahan sikap birokrat.

4. Pemberian kepercayaan pada masyarakat.

5. Pemberdayaan organisasi yang bergerak dalam bidang kependidikan.

6. Pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, S. G. 1993. Human Capital A Theoritical and Empirical Analysis With Special Reference to Education. The University of Chicago Press, Chicago.
Irawan, A., dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah. Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta. Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
Jalal, F. Dan Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Bappenas – Depdiknas – Adicita Karya Nusantara.
Mukhlishah. 2002. Mendesak, Pendidikan Berbasis Komunitas. Pikiran Rakyat Cyber Media.
Sagala, S. 2004. Manajemen Berbasis sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. PT Rakasta Samasta, Jakarta.
Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Menggagas paradigma Baru Pendidikan. Radar Jaya Offset, Jakarta.
Sudjatmiko dan Nurlaili, L. 2004. KBK dalam Menunjang Kecakapan Hidup Siswa. Dirtendik, Reformasi pendidikan. Pikiran Rakyat, 2 Mei 2002.

 

Rengganis Anak Desa Merapi Blogger Templates Designed by productive dreams | Free Wordpress Templates. presents HD TV Watch Futurama Online. Featured on Singapore Wedding Cakes. © 2011