Di era sekarang, banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada orang tua, baik guru maupun sesama. Hal ini merupakan jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum minuman keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan sebagainya.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa "watak" dengan dengan “sifat” adalah sangat tipis perbedaannya. "watak" bisa terjadi karena faktor bawaan yang sulit untuk diubah, tapi kalau “sifat” bisa diubah melalui sebuah proses. Mengubah sifat-sifat seseorang tidak semudah itu. Semua harus dilakukan melalui sebuah proses. Proses itulah dapat dilakukan secara bertahap dan tidak bisa sekaligus langsung berubah. Dan itulah yang dinamakan karakter.
Jadi membangun sebuah karakter itu tidaklah mudah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas adanya perkembangan atau laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang mengglobal, bahkan sudah tidak mengenal batas-batas negara hingga mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan manusia.
Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte.
Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat.
Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai "siapa anda dalam kegelapan". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral.
Kini Bagainmana?
Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Akibatnya, pendidikan karakter seolah menjadi tanggung jawab secara parsial.
Banyak hal yang memiriskan ketika mengamati sistem pendidikan kita. Di depan mata, nilai-nilai kejujuran telah diinjak-injak. Mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, adalah hal yang sering terjadi dan dianggap biasa.
Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Untuk menanamkan nilai kejujuran misalnya, sekolah ramai-ramai membuat kantin kejujuran. Anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya.
Namun sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik.
Di rumah misalnya, PR yang harusnya dikerjakan anak justru dikerjakan oleh orang tua atau kakaknya, bukan mendampingi dan menuntun anak menyelesaikan PR tersebut. Di sekolah, banyak anak yang ikut ujian nasional dibantu oleh gurunya atau pihak lainnya karena mengejar target kelulusan.
Demikian juga perilaku masyarakat banyak yang memberi contoh kurang mendidik seperti perilaku kurang sopan, mencuri, dan yang lainnya.
Sistem pendidikan di Indonesia dinilai gagal membentuk karakter siswa menjadi orang baik yang ditandai dengan banyaknya kasus korupsi, manipulasi, kebohongan, berbagai konflik dan terjadinya kekerasan.
"Ini bukti bahwa institusi pendidikan kita belum dapat mewujudkan tujuan pendidikan yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab," kata pendiri Indonesia Heritage Foundation, Dr Ratna Megawangi, di Medan, Selasa.
Menurut dia, salah satu penyebab utama kegagalan tersebut karena sistem pendidikan di Indonesia belum mempunyai kurikulum pendidikan karakter, tetapi yang ada hanya mata pelajaran tentang pengetahuan karakter (moral) yang tertuang didalam pelajaran agama, kewarganegaraan dan Pancasila.
Apalagi proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan penghafalan.Para siswa hanya diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur dengan kemampuan anak menjawab soal ujian terutama dengan pilihan berganda.
"Karena orientasinya hanya semata-mata memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak pada perubahan perilaku siswa tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral dan perilaku," katanya.
Ia mengatakan, salah satu solusi untuk membuat pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan melakukan pendidikan karakter, karena pendidikan moral bisanya hanya menyentuh aspek pengetahuan, belum sampai pada aspek prilaku.
Sedangkan pendidikan karakter membentuk perilaku siswa menjadi lebih bermoral, karena seseorang dapat disebut sebagai orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
"Sedangkan pendidikan moral misalnya dalam pendidikan pancasila, tidak menandai watak perilaku sebagai keberhasilan proses pembelajaran, tetapi cukup sampai pada sejauh mana anak didik mengetahui yaitu dengan pendekatan hapalan dan sedikit analisis," katanya.
Pendidikan di Indonesia hanya melahirkan ahli "mafia" atau matematika, fisika, dan kimia, sehingga lulusan pendidikan di Indonesia tidak memiliki karakter."Faktanya, pengangguran terdidik di Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta, sedangkan pengangguran tak terdidik hanya 700 orang," kata konsultan kewirausahaan, Imam Supriyono di Surabaya, Senin.Menurut pemimpin "SNF Consulting" itu, fakta yang ada membuktikan pendidikan di Indonesia tidak melahirkan karakter, tapi melahirkan "mafia" yang sangat formalistik."Padahal, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 225 juta dengan penduduk miskin cukup besar itu, membutuhkan pendidikan karakter," ucapnya.
Penulis sejumlah buku pendidikan dan kewirausahaan itu mengatakan, karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri."Kalau pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika, fisika, dan kimia maka pendidikan di Indonesia tidak akan melahirkan karakter," ujarnya menegaskan.
Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Kota Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?
Bagaimana pemerintah menjadi fasilitator pelayanan publik tidak dimiliki oleh negara. Pemerintah serius bisa menggusur tanpa bisa menunjukkan alternatif berjualan bagi masyarakat misalnya. Belum lagi status klaim tanah yang berakibat pada penggusuran. Ancaman penggusuran menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi semua negara. Kemudian masyarakat seringkali menempuh cara kekerasan sehingga tidak punya karakter sebagai warga negara yang baik mengedepankan dialog. Bagaimana mengatasinya ini? Perlu grand design tentang pendidikan karakter bangsa.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat.
Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial dan melemahnya mentalitas positif.
Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial budaya dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun.
Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sindiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN).
Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak kemnadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat. Kenapa Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000:194).
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappire dalam Suyanto dan Hisyam, 2000:186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.
Ciri karakter SDM
SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dalam kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan rohani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi.
Pendidikan karakter dapat mengubah bangsa terjajah menjadi bangsa maju. Terbukti, Korea sebagai negara terjajah selama 30 tahun oleh Jepang, mampu bangkit menjadi negara pesaing Jepang dengan memberikan pendidikan karakter kepada bangsanya.
Penulis memaparkan, pendidikan karakter diajarkan sejak usia SD kelas 1 dan 2 dengan materi meliputi proper life (hidup secara baik), wise life (hidup secara bijak), dan pleasant life (hidup secara menyenangkan).
Sedangkan pendidikan karakter sejak kelas 3 sampai kelas 10 diberikan dalam bentuk moral education (pendidikan moral), kelas 11 mendapat materi civil ethics (etika kewarganegaraan), dan kelas 12 mendapatkan materi ethics and thoughts (etika dan filsafat).
Selain Korea, kata Penulis, Amerika sebagai kiblat dunia di segala bidang, justru sangat memerhatikan pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter akan membawa anak didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, yang akhirnya pengalaman nilai secara nyata dari gnosis ke praktis.
“Untuk mencapai tataran praktis, ada peristiwa batin yang hebat dengan munculnya tekat untuk mengamalkan yang disebut conatio. Sedangkan langkahnya sampai ke arah situ disebut konatif yang oleh Phenix disebut sebagai voluntary personal commitment value,” terangnya.
Berdasarkan pendekatan antropologis, kata Penulis, pendidikan semacam itu di Indonesia identik dengan pendidikan yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal (indegenous value). ”Pendidikan semacam ini sangat penting diberikan kembali kepada anak didik. Terutama ketika era globalisasi tidak lagi membedakan satu bangsa dengan bangsa yang lainnya.”
Kalau kita simak dan kita analisis, bahwa kondisi Indonesia sekarang ini benar-benar sudah kehilangan karakter. Nah, Oleh karena itu, mari kita secara bersama-sama bagaimana upaya untuk membangun kembali sebuah karakter bangsa untuk menjadi bangsa yang lebih maju, bermartabat, bermoral menuju ke arah pendidikan.
Bagaimana mengatasinya?
Secara institusional, Pemerintah hendaknya memasukkan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.
Hal ini penting dilakukan agar nilai-nilai budaya dan karakter bangsa itu tetap melekat pada diri anak sehingga tidak terjadi lost generation dalam hal budaya dan karakter bangsa.
Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan tiga unsur pendidikan berupa karakter diri, pengetahuan, soft skill. Jadi bukan hanya berhasil mewujudkan anak didik yang cerdas otak, tetapi juga cerdas hati, dan cerdas raga.
Lickona (2007) menyatakan: terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan "karakter" secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.
Berikutnya, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7) Usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka.
Dengan desain demikian, pendidikan karakter akan senantiasa hidup dan sinergi dalam setiap rongga pendidikan. Sejak anak lahir atau bahkan masih dalam kandungan, ketika berada di lingkungan sekolah, kembali ke rumah, dan bergaul dalam lingkungan sosial masyarakatnya, akan selalu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar, mencontoh, dan mengaktualisasikan nilai-nilainya yang dipelajari dan dilihatnya itu.
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.
Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih
luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.
"Semoga bermanfaat bagi para pembaca"